Tahun 2006 lalu diterbikan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 (Permendagri 13/2006) tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Banyak Pemerntah Daerah (pemda) yang dibuat kalang kabut dengan dengan terbitnya peraturan ini, karena dengan terbitnya peraturan ini tentu saja merubah mekanisme keuangan yang selama ini dipakai.

Di Kota Bandung sebagian gaji tenaga honorer tidak bisa dibayarkan selama 3 bulan dengan alasan terbitnya peraturan baru ini. Di daerah lain rutinitas kantor banyak yang terhambat, disebabkan para pengelola keuangan belum memahami benar peraturan ini. Dan yang lebih ramai dibicarakan adalah mulai tahun 2008 dana APBD tidak bisa lagi digunakan untuk membiayai klub sepak bola yang dimiliki pemda.

Walaupun demikian penulis mencoba untuk melihat permendagri 13/2006 dengan lebih objektif. Kita perlu memberikan pujian untuk sesuatu yang berdampak positif, dan tentu saja jangan pernah ragu mengkritisi sesuatu yang dipandang kurang baik. Berikut ini sebagian pujian yang patut diberikan kepada permendagri 13/2006 :

Pertama, menurut permendagri 13/2006 pemda diwajibkan untuk menyusun neraca secara berkala, yang memuat informasi aset, kewajiban dan ekuitas yang dimiliki pemda. Dengan adanya aturan ini berarti menuntut semua pemda di Indonesia untuk sesegera mungkin menginventarisasi aset yang dimiliki untuk menentukan neraca awal. Hal ini sangat baik, mengingat banyak pemda yang belum memiliki data asetnya secara benar, akurat dan lengkap, bahkan tidak sedikit tanah pemda yang menjadi objek sengketa dikarenakan belum memiliki sertifikat.

Kedua, mulai tahun 2008 dana APBD tidak bisa lagi digunakan untuk membiayai klub sepak bola milik pemda. Disetiap kesempatan ketua umum PSSI, Nurdin Khalid, selalu mengemukakan bahwa sepak bola Indonesia akan diarahkan menuju industri bola, jika berbicara industri tentu saja seluruh klub sepak bola di Indonesia haruslah menganut azas profesionalisme, yang akan lebih tepat jika menggantungkan hidupnya dari dana sponsor dari pada dana APBD. Bahkan jika dikelola dengan baik klub sepak bola bisa saja mendatangkan keuntungan untuk pemda yang akan menambah Pendapatan Asli Daerah dari sektor pendapatan lain-lain yang sah. Hanya saja saat ini bukannya mendatangkan PAD, tidak sedikit daerah yang anggaran klub sepak bolanya lebih besar dari PAD yang dihasilkannya.

Tetapi sesuai dengan peribahasa bahwa tiada gading yang tak retak, begitu pula dengan permendagri 13/2006, ada hal-hal yang perlu dikritisi untuk perbaikan-perbaikan dimasa yang akan datang. Berikut ini hal-hal yang ingin penulis kritisi dari permendagri 13/ 2006 :

Pertama, dalam permendagri 13/2006 kewenangan pengelolaan keuangan didesentralisasikan kepada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Tetapi mekanisme desentralisasi kewenangan ternyata hanyalah desentralisasi semu yang hanya memanjangkan proses birokrasi keuangan. Dalam proses pencairan uang misalnya, Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan oleh kepala SKPD selaku pengguna anggaran tidak berlaku untuk menarik uang dari kas daerah, padahal dalam peraturan sebelumnya (Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002) SPM yang diterbitkan oleh Bagian Keuangan Sekretariat Daerah adalah dokumen yang sah untuk menarik uang dari kas daerah. Dalam permendagri 13/2006 dibutuhkan satu dokumen lagi yaitu Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang diterbitkan oleh Bendahara Umum Daerah, yang disebagian besar daerah masih dijabat oleh Kabag Keuangan Setda. Artinya ada tambahan satu dokumen yang tentu saja menambah panjang proses, dan yang pasti desentralisasi yang ada bukanlah desentralisasi kewenangan melainkan desentralisasi kariweuh, karena kewenangannya tetap berada di Bagian Keuangan selaku Bendahara Umum Daerah.

Kedua, Kepala SKPD sebagai pengguna anggaran diwajibkan juga melakukan pengawasan interen terhadap berjalannya pengelolaan keuangan di SKPD-nya, oleh karena itu pengguna anggaran menunjuk Pejabat Pengelola Keuangan (PPK) SKPD. Bendahara SKPD harus menyampaikan pertanggungjawaban bulanan kepada pengguna anggaran melalui PPK-SKPD, dan PPK-SKPD mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa pertanggungjawaban yang dilaporkan bendahara adalah benar. Pengawasan dengan mekanisme seperti ini akan sangat sulit dilakukan, mengingat antara PPK-SKPD dan bendahara adalah rekan kerja yang sehari-hari bekerja dikantor yang sama, bahkan tidak jarang bekerja dalam satu ruangan yang sama, dan bukan tidak mungkin terjadi perkeliruan yang dilakukan bendahara atas seizin PPK-SKPD dan pengguna anggaran. Fungsi pengawasan dengan model seperti ini sangat lemah, karena PPK-SKPD selaku pengawas bukanlah orang independen yang berada diluar sistem SKPD, melainkan orang dalam SKPD itu sendiri.

Selain itu permendagri 13/2006 juga menggunakan sistem akuntansi pencatatan ganda (double entry system) yang sebenarnya sudah sejak lama digunakan oleh perusahaan-perusahaan profesional dengan orientasi profit. Dengan sistem ini diharapkan pemda dapat menyusun neraca, laporan realisasi anggaran (dalam perusahaan profit disebut laporan rugi laba), dan juga laporan arus kas, tidak lagi sekedar laporan perhitungan APBD dengan sistem pencatatan tunggal (single entry) yang sebenarnya dalam akuntansi moderen sudah lama ditinggalkan.

Namun sistem yang baik tidak dijamin berjalan dengan baik jika tidak didukung Sumber Daya Manusia (SDM) yang kompeten. Permasalahannya tidak banyak PNS daerah yang memahami sistem akuntansi dengan baik, setidaknya masalah ini mengemuka dalam sebuah diklat bendaharawan yang penulis ikuti, hampir mayoritas peserta sulit memahami materi sistem akuntasi double entry, karena sebagian besar bendahara daerah ternyata bukan berlatar belakang pendidikan akuntansi.

Jika kondisinya demikian tentu saja peningkatan kemampuan pegawai dalam bidang akuntansi, harus menjadi prioritas utama dalam program pemerintah daerah, atau untuk lebih mudahnya pemda bisa merekrut pegawai dengan memperbanyak formasi untuk jurusan akuntansi. Lebih jauh lagi sebaiknya mendagri kembali menerbitkan peraturan atau setidaknya surat edaran yang memberikan kelonggaran waktu bagi pemda untuk menerapkan permendagri 13/2006 sekurang-kurangnya 3 tahun kedepan. Hal ini penting bagi pemda untuk menyiapkan segala sesuatunya, dalam rangka menerapkan permendagri 13/2006 dengan sesempurna mungkin, itupun jika peraturan ini tidak diganti kembali.