Kurang lebih 1 tahun lalu ombig mendapatkan sebuah kepanjangan plesetan dari sebuah singkatan gelar akademik yang semakin populer saja belakangan ini. Gelar itu adalah SE (Sarjana Ekonomi) dan MM (Magister Manajemen). Ketika seseorang mendapatkan kedua gelar itu maka gelar itu akan ditambahkan pada nama yang bersangkutan, contoh : Ombig, SE., MM., maka dengan dengan sekejap mata ombig menjadi orang yang punya nilai lebih dan bisa jadi lebih disegani orang lain, karena Ombig berpendidikan tingkat strata 2 yang jauh melambung diatas wajib belajar pemerintah yang hanya 9 tahun (SMP).

Tapi tahukah anda, apa kepanjangan plesetan itu? plesetannya sendiri berasal dari bahasa sunda. SE diplesetkan menjadi “Sarjana Edan”, sedangkan MM diplesetkan menjadi “Meunang Meuli”, yang dalam bahasa Indonesia dapat diartikan Sarjana Gila Dapet Beli.

Plesetan gelar tidak hanya menimpa SE dan MM, ada juga gelar lain yang menjadi korban akademisi-akademisi tidak beradab. Gelar S.Pd yang seharusnya dipanjangkan menjadi Sarjana Pendidikan diplesetkan menjadi Sarjana Paket D, bahkan gelar ST yang bagi sebagian masyarakat dianggap sakral, karena sulitnya meraih gelar tersebut diplesetkan menjadi Sarjana Tulalit. Plesetan-plesetan itu bukan tanpa alasan, ini adalah kenyataan yang terjadi bahwa disekitar kita ternyata banyak terjadi jual beli gelar akademik.

Masyarakat awam mungkin bisa dikibulin dengan deretan gelar yang mengikuti nama seseorang, tapi bagi masyarakat lain yang tahu seluk beluk lingkungan akademik tidak mungkin bisa dikibulin begitu saja. Dan yang paling penting, hati nurani kita tidak pernah bisa dikibulin.

Sebuah logika sederhana, gelar sarjana strata 1 baru bisa didapat setidaknya dengan belajar rata-rata 140 – 160 SKS, jika dirata-ratakan mahasiswa dapat menempuh 20 SKS / semester, maka sang mahasiswa baru bisa meraih gelar kesarjanaan setelah 8 semester atau kurang lebih 4 tahun. Kalaupun ada kampus yang menerapkan sistem Tri Semester, biasanya jatah SKS maksimalnya dikurangi dari 24 SKS menjadi 18 SKS, jadi ujung-ujungnya sama saja- seorang mahasiswa harus menempuh perkuliahan selama 4 tahun.

Lalu mengapa ada yang meraih kesarjanaan dalam waktu tidak lebih dari 2 tahun?, berikut ini adalah pola-pola yang digunakan untuk menjebak calon mahasiswa :

Pertama, disebarkan brosur-brosur yang berisi jaminan lulus cepat. “3 Tahun jadi SE”, “2 Tahun jadi SH”, jangan tergiur dengan rayuan janji manis yang menyesatkan, kembalilah ke logika sederhana diatas. Kampus-kampus yang seperti ini biasanya tidak bonafid, walaupun punya izin resmi bahkan akreditasi dari BAN-PT.

Kedua, Dengan membayar sejumlah uang Nomor Pokok Mahasiswa (NPM) dimundurkan kurang lebih 2 tahun, misalnya : Ombig daftar ke Kampus X tahun 2008, tetapi NPM yang Ombig dapatkan adalah NPM tahun 2006, tentu saja dengan deretan mata kuliah yang seolah-olah sudah Ombig tempuh, maka dengan aman Ombig bisa lulus pada tahun 2010. Untuk kasus seperti ini, agak sulit dilacak keborokannya, tetapi yang pasti hati nurani kita tak pernah bohong. Jika anda menemui orang yang baru kuliah tahun 2008 tapi tahun 2010 sudah lulus, bisa dipastikan pola seperti inilah yang digunakan, karena sangat mustahil kesarjanaan ditempuh dalam waktu 2 tahun. Ombig berani menjamin, orang dengan IQ jenius saja paling cepat berada dikisaran 3 tahun untuk lulus sarjana.

Ketiga, gelarnya benar-benar dijual, tanpa kuliah sedikitpun orang yang bersangkutan langsung mendapatkan ijazah. Hal ini adalah pelecehan nilai-nilai akademik dan melanggar Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas. Untuk kasus seperti ini aparat penegak hukum dan pemerintah harus segera bertindak.

Selain itu masih banya pola-pola lain untuk mengecoh masyarakat yang gila gelar. Tapi yakinlah, orang-orang dengan gelar bodong hatinya akan tersenyum setiap kali gelarnya disebut, karena hati nurani tak pernah berbohong.